Namun itu semua hanyalah bangunan kosong tanpa SDM yang menjalankan, Nah kendala kedua ya itu SDM, Papua sangat kurang SDM mulai dari tenaga kesehatan, insinyur, guru.
Mengabdi di Papua itu sulit jika tidak pake hati apalagi hanya mengejar uang. Bagi tenaga medis yang melayani dipedalaman-pedalaman terpencil Papua, mereka harus menempuh perjalanan yang jauh, harus berjalan kaki berjam-jam hingga berhari-hari sambil memikul obat dan perlengkapan medis lainnya.
Bagi guru yang mengajar di pedalaman harus hidup dengan ketiadaan akses sinyal, tanpa listrik PLN, transportasi ke kota yang sulit, biaya hidup mahal karena bbm aja bisa 50-70rb.
Jadi jangan kaget di pedalaman papua, mata uang paling kecil itu 5rb, akses air bersih yang sulit karena di sebagian daerah hanya mengandalkan air hujan, bisa tidak mandi berhari-hari saat kemarau, bahkan di beberapa wilayah nyawa taruhannya.
Makanya banyak pegawai-pegawai yang tidak betah untuk bekerja dan memilih untuk secepatnya pulang."
Curahan hati Sigit mendapat banyak komentar positif dan dukungan bagi dirinya.
Sigit sendiri sebenarnya bukanlah seorang sarjana pendidikan, melainkan sarjana ekonomi.
Kiprahnya mengajar di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Pegunungan Bintang, yang juga dekat dengan Asmat, dimulai dari program Indonesia Mengajar.
Sigit meninggalkan karir profesionalnya demi menjelajahi pelosok Papua dan menularkan ilmu pada anak-anak di SD Inpres Pepera.
Saat ini, Sigit berencana menerbitkan sebuah buku tentang pengalaman mengajarnya agar banyak orang memahami kondisi Papua dan tergerak untuk terjun langsung ke sana.
Artikel ini telah tayang lebih dulu di Intisari dengan judul "Curhat Seorang Guru yang Mengajar di Pedalaman Papua Tentang Kondisi Asli di Papua, Sangat Miris!" (Aulia Dian Permata/Intisari)