Peneliti di Pusat Riset Sains Antariksa Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Andi Pangerang mengatakan, hujan meteor memang mulai menyembur sejak sepekan silam dan saat itu para astronom memprediksi puncak aktivitasnya akan terjadi beberapa hari ke depan.
Andi menjelaskan, mulanya hujan meteor ini dinamai “Finlay-id” berdasarkan nama objek induknya.
Penamaannya tentu mengingatkan pada hujan meteor Draconid yang semula dinamai Giancobinid, sesuai nama penemunya.
Nah, konfirmasi pengamatan terbaru menunjukkan bahwa hujan meteor Arid muncul dari konstelasi Ara yakni konstelasi di langit selatan yang terletak di antara konstelasi Centaurus si manusia kuda dan Lupus si serigala.
Konstelasi itulah dinamakan Ara yang dalam Bahasa Latin berarti altar atau pedupaan dikarenakan figur bintang yang menyerupai altar.
Oleh karenanya juha, hujan meteor terbaru itu bakal dinamakan Arid, sesuai lokasi kemunculan hujan meteor.
Nama ini sudah ditambahkan ke dalam Daftar Kerja Hujan Meteor IAU (Uni Astronomi Internasional) berdasarkan laporan pengamatan tertanggal 1 Oktober 2021 oleh Biro Pusat untuk Telegram Astronomi di Universitas Harvard.
Dilansir daribrin.go.id,hujan meteor Aridmula-mula terdeteksi melalui kamera pemantau meteor CAMS (Camera for Allsky Meteor Surveillance) di Selandia Baru berturut-turut pada tanggal 28 dan 29 September.
Radar meteor SAAMERS-OS (Southern Argetina Agile Meteor Radar Orbital System) di Pulau Tanah Api (Tierra del Fuego), Argentina Selatan juga mendeteksi hujan meteor setidaknya selama tiga jam pada tanggal 29 September.
Selanjutnya, puncak hujan meteor Ariddiprediksi pada tanggal 7 Oktober 2021 pukul 10.55 WIB / 11.55 WITA / 12.55 WIT berdasarkan tiga pengamatan semburan debu komet sebelumnya.
Andi menambahkan, meskipun ukuran inti komet 15P/Finlay sebesar 1,8 kilometer dan debu komet ini hanya berukuran seperti butiran pasir, sehingga hujan meteor ini bergerak cukup lambat di kelajuan 38.880 km/jam (dibandingkan dengan hujan meteor Draconid yang kelajuannya 72.000 km/jam) sehingga cukup sulit diamati.
Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan data pengamatan hujan meteor ini dapat terkumpul dengan cukup dari berbagai belahan Bumi.
Andi Pangerang menyebut hujan meteor ini terlihat redup melalui instrumen radar bagi beberapa wilayah paling selatan di belahan selatan Bumi yang masih bisa dihuni manusia seperti Argentina, Chile dan Selandia Baru.
Kata Andi, hujan meteor umumnya memang terjadi setiap tahun ketika debu komet maupun asteroid berpotongan dengan orbit Bumi mengelilingi Matahari.
"Untuk kasus hujan meteor terbungsu ini, justru debu komet 15P/Finlay, sebagai objek induk (parent body) hujan meteor tersebut, tidak pernah berpotongan dengan orbit Bumi," terang Andi dilansir dari brin.go.id, Jumat (8/10/2021) ini dikutip dari KompasTV.
Hal tersebut dikarenakan, lanjut Andi, ukuran debu komet yang kecil, ditambah pula dengan angin surya dari Matahari yang dapat mengubah posisi debu komet menjadi bergeser dari posisi semula.
Hujan meteor Arid dapat disaksikan sejak senja bahari (20 menit setelah terbenam Matahari) dari arah Selatan-Barat Daya hingga Barat Daya selama 3,5 jam hingga pukul 21.30 waktu setempat.
Sedangkan yang berada di belahan utara tetap berkesempatan menyaksikan hujan meteor ini, meskipun lokasi pengamatan terbaik hujan meteor ini berada di belahan selatan Bumi.(*)