Membuat lagu apapun yang relevan dengan kondisi saat itu, sejadinya pun nanti jika dilempar ke band member lainnya dibumbukan berbeda walaupun bahan bakunya sama sesuai kiasan Iga.
Cara Kunto memutuskan pembuatan album kedua diberangkatkan dari sebuah tema besar dahulu yang biasanya muncul dari kegelisahan yang muncul di dalam.
Kunto mencari cara yang lebih sistematis semacam membuat mind map yang kemudian disortir untuk mencari yang paling relevan.
Kedua Kunto dan Iga setuju, alasan sebagai seniman yang tidak bisa dipaksakan untuk berkarya sudah tidak ada relevansinya di kehidupan sekarang apalagi keduanya dibawah naungan manajemen. Batasan diri juga harus disadari antara menjadi seorang profesional dan seniman.
Dari dorongan manajemen, dorongan diri muncul pula. Semacam memunculkan kesadaran untuk mengeluarkan sesuatu, akhirnya lirik lirik tersebut mencari benang merahnya tersendiri walaupun awalnya dibuat dari timeline yang berserakan.
Iga mengaku tantangan terbesar yang dialaminya selama ini adalah kecemburuan.
Satu kali ia pernah cemburu atas karya musisi lain dan terbawa dengki sampai-sampai harus menelpon langsung untuk memberitahu betapa tidak sukanya dia terhadap karya musisi tersebut karena dinilainya bagus sekali. Pernyataannya tersebut membuat Kunto yang berada di sebelahnya tertawa terbahak-bahak dan mereka yang datang juga ikut tertawa karena tahu musisi yang ‘dibenci’ ini ternyata adalah Kunto sendiri.
Pesan terakhir dari Kunto Aji dan Iga Massardi adalah untuk selalu mengingat, menciptakan album baru sama dengan menciptakan semesta yang berbeda yang tidak ada sangkut pautnya dengan album yang lainnya, tidak perlu dipikirkan kontinuitas ataupun membandingkan kualitas tiap albumnya karena di ujung hari hal itu hanya akan memblokir ruang gerak karya tiap-tiap musisinya.
Penulis: Kayla Lynette