Ini Suka Duka Jadi Anak Rantau, Kamu Setuju?

Senin, 23 Oktober 2017 | 03:30
Hai Online

Menyenangkan Kuliah dan Lulus dari Jurusan Sastra Inggris

HAI-ONLINE.COM – Berbeda dengan masa putih abu-abu dulu, dalam kampus, selalu saja ada hal unik yang bisa dijadikan cerita menarik untuk kita kulik. Contoh gampangnya adalah kisah perjuangan teman-teman di masa perkuliahan.

Di setiap kampus, di manapun dan angkatan berapapun, pasti ada yang namanya mahasiswa rantau. Nah, umumnya, buat teman-teman yang merantau, biasanya ada pergolakan batin (halah!) yang terjadi sesaat sebelum dia memutuskan untuk pergi sejauh ratusan kilometer untuk menuntut ilmu.

Maklum, menyandang status sebagai anak rantau tentu bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Alasannya jelas. Bayangin aja, dalam perantauan, kita dituntut untuk bisa beradaptasi mulai dari nol untuk bisa bertahan hidup di lingkungan baru. Itu artinya, kita wajib belajar sesuatu dari awal, mulai dari berkenalan dengan teman baru, lingkungan, sampai kebudayaan baru yang belum pernah kita lihat atau rasakan sebelumnya. Ya, setidaknya itu yang dialami oleh Stephani Laurensia.

“Gue rasa, tiap anak rantau pasti punya ketakutan yang sama. Takut nggak bisa pergi ke mana-mana, karena nggak tahu jalan, takut nggak ada teman dan nggak bisa ngikutin pergaulan di sana,” ujar mahasiswi asal Lubuklinggau, Palembang, Sumatera Selatan.

Nggak Boleh Nge-Kos, Sampai Dijauhi Teman

Nggak salah memang kalau kuliah di perantauan jadi salah satu masa sulit yang mau nggak mau harus kita lewati. Masalah bahasa, makanan, sama stigma negatif kerap menempel di kepala beberapa orang terkait mahasiswa perantauan.

Fathie Djunnaedy, nih, contohnya. Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini mengaku pernah mengalami kejadian nggak enak selama jauh dari kota asalnya.

Simak juga: Jangan Kebanyakan, Ini Bahaya Minuman Bersoda Untuk Tubuh

“Ada tempat sewa kos yang enggan menerima orang Timur,” ujar Fathie singkat.

Fathie menambahkan, cap sebagai orang timur menempel di dirinya. Nggak cuma susah dapat tempat kos, lewat cap tersebut, Fathie mengaku pernah dijauhi oleh teman-temannya. Duh.

“Cap ‘Orang Timur’. Berhubung aku punya kulit yang gelap, keriting, dan punya gaya bicara yang aneh, kadangkala juga sering dijauhi teman-teman,” timpal cowok asli Ternate.

“Ada juga stereotype kesukuan. Berhubung aku keturunan Dayak, beberapa kali pernah, sih, dijauhin sama teman,” lanjut Febriana, mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Mengubah Cara Berpikir

Namun, apa yang dialami Stephani, Fathie, dan Febriana lantas membuat kita jadi ogah buat merantau. Soalnya, dengan kuliah di luar kota, kita bisa mendapatkan banyak hal baru dan seru yang bisa dipelajari selain mata kuliah di kampus, loh.

Simak juga: Jangan Sembarangan, Ini Bahayanya Mencuci Motor Saat Mesin Masih Panas

Salah satunya adalah belajar untuk jadi orang yang lebih mandiri. Iya, dong. Lantaran menjadi ‘orang asing’ di daerah yang baru pertama kali dijajaki, mau nggak mau kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang ada.

“Namanya juga hidup jauh dari keluarga, mau nggak mau kita harus jadi lebih dewasa dan mandiri. Kita harus pandai mengatur pengeluaran uang jajan harian kita,” repet Fathie Djunnaedy.

Nggak cuma bikin kita lebih mandiri dan jadi lebih dewasa, nyatanya, dengan menjadi anak rantau juga bisa membuka atau bahkan merubah pola pikir kita tentang ‘dunia luar’. Serius?

“Iya serius. Awalnya, aku sedih karena nggak bisa ngomong kayak orang di sini (Tangerang), takut salah dan minder. Nah, hal yang paling aku takutin dulu, tuh, masalah rasisme. Tapi, seiring berjalannya waktu, hal-hal negatif kayak gitu nggak ada dan aku lupain juga,” lanjut Melaniesia, mahasiswi jurusan Sistem Informasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN) asli Papua.

Hal yang sama juga dialami oleh Febriana. Dia menambahkan bahwa banyak manfaat yang didapat dengan menjadi mahasiswa rantau.

“Setelah sekian lama, sih, akhirnya aku anggap biasa aja. Tapi secara keseluruhan, pelajarnya majemuk dan terbuka. Itu jadi hal yang seru kalau di perantauan gini ketemu sama anak-anak yang berbeda asal daerahnya. Tapi secara pergaulan dan pikiran, bisa diajak berteman untuk menambah wawasan kita, sekaligus merubah pola pikir,” lanjut Febriana.

Well, apa yang dialami oleh Febriana, Fathie, Stephani, dan Melanesia hanyalah sebagian kecil dari suka dan duka mereka sebagai anak yang hidup di perantauan. Setidaknya, lewat apa yang dialami teman-teman kita para mahasiswa rantau, kita bisa tahu arti sebenarnya dari ‘Bhineka Tunggal Ika’. Setuju?

Tag

Editor : Hai Online